MASALAH PAPUA ADALAH KITA


Selalu kuat dan melekat di benak ketika di kelas Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Pertama, di dinding kelas terpampang foto-foto Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, H. Agus Salim, W.R. Supratman, Teuku Umar, Imam Bonjol dan masih banyak lagi. Sekali-kali Bapak guru selalu mengingatkan, “Indonesia adalah salah satunya negara di Asia Tenggara yang dijajah oleh 4 negara kolonial dan kita dapat bertahan dan mengalahkan mereka! Indonesia adalah negara yang besar dan subur dari Sabang sampai Merauke! Harus banggalah kita jadi orang Indonesia!”. Kalimat-kalimat tersebut secara berkala terus - menerus dilontarkan, seperti suatu hal yang sangat sakral untuk diingat oleh siswa se-usia SMP. Perkataan dan frasa nasionalisme sudah tidak asing, terdengar seperti hymne pengingat yang selalu dielukan untuk negara. Disana rasa bangga terhadap Indonesia pun membara seakan melihat Indonesia, negara makmur dan hebat yang dapat menyatukan orang-orang yang berbeda-beda, hidup adil dan sejahtera.

Kericuhan 16 Agustus, 2019 pun menjadi ironi Indonesia. Menjelang Hari Kemerdekaan yang ke-74 , kita disambut oleh peristiwa rasialis oleh organisasi masyarakat dan aparat keamanan terhadap mahasiswa Papua di asrama Papua, Surabaya. Kata-kata “monyet”, “anjing”, “babi” yang dilontarkan oknum ormas dan aparat keamanan menjadi percikan yang berujung demo besar dan pemutusan internet oleh pemerintah yang berlangsung selama dua minggu di Papua. Kericuhan rasialis yang terjadi bukan yang pertama dan Hanya terhadap orang Papua, melainkan sebuah cerita lanjutan derita minoritas yang telah terjadi berabad-abad dan terus membuat kita mengerutkan dahi saat. Insiden rasialis yang terjadi di Surabaya adalah sebuah paradoks Indonesia. Indonesia yang dibanggakan sebagai negara besar yang dielu-elukan dengan adab ke’indonesiaan’nya, sebaliknya melakukan disintegrasi sosial bermasyarakat. Selagi aksi dan protes Papua berlangsung, maka masalah Papua adalah Kita.

Dilema Papua

Eksistensi Papua Barat sebagai salah dua provinsi Republik Indonesia telah menjadi polemik sejak awal. Kala itu, pada Tahun 1961 Sukarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora), permulaan aneksasi Papua Barat untuk bergabung dengan Indonesia dengan dimulainya operasi terjun payung oleh tentara militer Indonesia

Sejak disetujuinya proses pemindahan administrasi Papua dari Belanda ke Indonesia dalam New York Agreement 1962, tindak lanjutan yang dilakukan Indonesia terkesan cacat, khususnya prinsip Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat untuk bergabung dengan Indonesia yang dilakukan pada Tahun 1969. Indonesia memilih penduduk Papua secara selektif untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya secara musyawarah. Di beberapa kasus, penduduk Papua mengalami tindakan opresif dengan dipaksa memilih bergabung dengan Indonesia oleh tentara militer Indonesia. Salah satu momen yang absurd juga ditemukan dalam perjanjian kontrak pertambangan oleh Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran di Papua Barat yang dilakukan pada Tahun 1967, ketika Papua Barat masih menjadi teritori sengketa.

Bergabungnya Papua Barat dengan Indonesia dan berjalannya Orde Baru selalu dilihat sebagai awal mula eskploitasi kekayaan alam bak “sapi perah” di Papua. seperti emas, tembaga dan kayu. Ekstraksi kekayaan alam juga menyebabkan deforestasi lahan yang sangat masif, sehingga merusak lingkungan setempat. Tata-cara pemerintahan Orde Baru yang sentralistik juga memberikan efek pembangunan yang sangat lambat, sehingga Papua tertinggal dari provinsi lainnya.

Era Reformasi Indonesia menjadi angin segar untuk perubahan Papua. Pada tahun 2001, Otonomi Khusus diberikan untuk Papua agar kesejahteraan dan keadilan hukum dapat dicapai, termasuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Beberapa keistimewaan dari otonomi khusus adalah Gubernur Papua wajib putra daerah asal Papua, alokasi anggaran khusus untuk APBD Papua, dan adanya Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk representasi dan otoritas yang riil. Akan tetapi, berlangsungnya otonomi khusus selama hampir 2 dekade tidak memberikan dampak signifikan terhadap Papua, khususnya rakyat Papua. Kesenjangan dapat dilihat dari data human development index (HDI) Papua dari kurun waktu 2010-2018, yang dibawah rata-rata Nasional 71.39 dan menempatkan Provinsi Papua dan Papua Barat di urutan terakhir, yaitu 60.06 dan 63.74.

Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur meningkat secara signifikan sebagai penghubung sarana transportasi antar wilayah, khususnya yang terisolasi di Papua dan Papua Barat. Salah satunya Pemerintah menggelontarkan 19.5 triliun Rupiah untuk pembangunan Tol Trans-Papua yang dapat memperkecil kesenjangan untuk mendorong roda perekonomian setempat dengan menurukan harga bahan pokok serta biaya angkutan transportasi. Namun kericuhan di Surabaya membuktikan bahwa pembangunan infrastruktur tidaklah cukup, melainkan banyak hal-hal fundamental dengan urgensi yang tinggi, tetapi terabaikan oleh pemerintah. Seperti kata Gubernur Papua Lukas Enembe sewaktu diwawancara di salah satu stasiun TV nasional, “Papua belum di Indonesiakan dengan baik.”

Kolonialisme, Rasisme dan Hak Asasi Manusia

Tanpa kita sadari, rasisme terhadap minoritas telah terjadi sejak era zaman kolonial Belanda, dimana penduduk Hindia Belanda dibeda-bedakan menurut asal-usul dan keturunan mereka. Asal-usul dan keturunan menentukan kasta dan perlakuan istimewa terhadap penduduk Hindia Belanda, seperti asli Belanda atau Eropa disebut Europeanean sebagai kelas sosial tertinggi yang berprofesi sebagai pejabat pemerintahan, peranakan disebut Vreemde Oosterlingen sebagai kelas sosial kedua yang menekuni sebagai “orang tengah” seperti di perdagangan, dan penduduk asli disebut Pribumi yang di kasta terakhir yang bekerja sebagai buruh kasar.

Dengan adanya segregasi, perlakuan rasisme pun terjadi terhadap warga kelas dua dan tiga. Penduduk peranakan, khususnya Arab dan Tionghoa Hanya dipergunakan sebagai perantara untuk menghindari protes publik dan pribumi diperlakukan sebagai layaknya budak kerja ditambah dengan hinaan seperti “monyet” atau “bodoh”. Melihat 74 tahun Indonesia merdeka, Indonesia jauh dari kata inklusif dan setara. Secara tidak sadar, rasisme telah ditanamkan dan dipergunakan untuk menghakimi di dalam sosial bermasyarakat Indonesia dalam suku, etnis, dan maupun agama yang mencederai nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang ditanda-tangani oleh Indonesia pada tahun 1999, Indonesia sewajibnya menjaga integritas dan serius menumpas rasisme yang terjadi dalam sosial bermasyarakat.

Akan tetapi, peristiwa Surabaya menjadi satu dari banyak persitiwa rasisme yang menjadi bukti kelam dari cacatnya sosial bermasyarakat dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Cemohan-cemohan seperti “monyet” dan “pemabuk” kepada orang Papua merupakan bukti tidak peka terhadap perubahan sosial bermasyarakat dan masih terjebaknya kita ke dalam kebiasaan kolonial. Di samping itu, perlakuan rasisme juga terjadi di kehidupan sehari-hari bagi orang Papua. Contohnya, mahasiswa Papua yang menempuh pendudukan di Jawa atau Sumatra sulit mendapatkan indekos dikarenakan prejudis penduduk setempat ke orang Papua sebagai “penjahat” atau “pemabuk”. Contoh lain juga dapat dicerna oleh perkataan stereotip Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan Indonesia di salah satu TV nasional yang mengasumsikan ketidakproduktifan orang Papua disebabkan oleh alkohol dan kegiatan judi.

Respons aparat keamanan dan pemerintah yang berlebihan terhadap demonstrasi besar di Papua juga perlu di sorot. Banyak warga dan aktivis Papua yang ditangkap oleh aparat keamanan tanpa alasan yang jelas dan banyaknya aparat polisi dan TNI yang ikut terlibat dalam pengamanan yang menciptakan suasana intimidasi dan mencekam. Di tambah ambigunya respon Menpolhukam Wiranto sewaktu ditanya jumlah korban kerusuhan Papua menunjukkan tidak adanya keinginan untuk menghormati dan memuliakan hak asasi manusia orang Papua. Berlebihannya Aparat Keamanan telah melanggar Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials oleh PBB yang mengatur tata-cara penegakan hukum yang sepatutnya.

Selagi tidak acuhnya pihak bertanggung jawab, maka prinsip hak asasi manusia tetap harus ditegakkan. Indonesia perlu melihat hak asasi manusia sebagai elemen fundamental setiap orang dengan memuliakan hak dan menjunjung tinggi kesetaraan antar sesama. Setelah 74 tahun Indonesia merdeka dan dengan perkembangannya zaman, sewajarnya Indonesia harus melihat lebih dari sekedar suku, etnis atau agama.

Jikalau peristiwa Surabaya dan rasisme lainnya berlanjut, maka itu sebuah bukti Indonesia masih terjebak dalam kebiasaan kolonial. Layaknya lirik lagu. Feast, “Merah makin memudar, yang bunglon merasa benar. Putih menguning, yang pintar masih berpaling.”